Minggu, 04 April 2010

archipelago concept

Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000
pulau besar dan kecil. Pulau-pulau itu terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km atau
sepadan dengan jarak London dan Siberia dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan.Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer dan sekitar 80% dari wilayah ini adalah laut.

Dengan bentang geografis itu, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer territorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural.

Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatankemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadātuan Śrīwijaya, Kerajaan Mālayu, Kerajaan Majapahit, Orang Laut dari Bone, dll. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau.

Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Jaringan pelayaran di Nusantara terbentuk karena perdagangan rempah-rempah yang mempunyai daerah pemasaran luas. Berdasarkan sumber-sumber naskah Eropa, rempahrempah yang diperdagangkan di Eropa berasal dari Nusantara. Komoditi ini tampaknya hanya dihasilkan di Nusantara, sehingga banyak saudagar yang datang jauh-jauh menempuh perjalanan melalui laut untuk mencarinya.

Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip kebebasan lautan yang diajarkan Hugo de Groot (Grotius), seorang ilmuwan dari Belanda telah mengakibatkan datangnya pedagang-pedagang Belanda ke negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan. Pada tahun 1608, Hugo de Groot menuliskan dalam bukunya bahwa Belanda, seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk berlayar ke Timur.

Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain. Selama kurang lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan Indonesia. Baru pada abad ke-20, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil.

Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda.

Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia.

Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No.400/P.M./1956.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar